Catatan Saya, Penulis Picisan

🌷(166)🌷

Saya memiliki teman. Teman lama saat masih sekolah dulu. Takdirlah yang membuat kami terpisah karena menempuh jalan hidup kami masing-masing. Dan takdir pula yang kemudian mempertemukan kami kembali.

Setelah pertemuan kami yang kedua inilah, catatan ini bersumber. Rupanya setelah sekian lama terpisah dia benar-benar berbeda. Wawasannya, ilmunya, semuanya. Sering dia memberi saya nasihat, kritik, dan saran untuk tulisan saya. Dan rupanya lagi dia pun mau menyimak tulisan-tulisan saya di blog gurusiana.

Luar biasa! Saya sendiri nggak pernah menyangka kalau dia masih punya waktu untuk menyimak tulisan-tulisan saya yang picisan itu. Saya sangat senang sekaligus bersyukur masih ada orang yang peduli dengan tulisan dan ide saya. Dan itu datangnya dari sahabat saya sendiri. Hal itu sangat luar biasa buat saya.

Di antara kritikannya yang sampai sekarang masih saya ingat adalah bahwa seorang penulis itu harus tahu apa yang ditulis. Mengenai penulisan atau bahasa tulis yang dipakai itu terserah gaya masing-masing. Yang penting harus tahu apa yang ditulis. Artinya, tidak sekadar tahu tetapi harus menguasai, agar benar-benar paham materi tulisan. Ide atau gagasan tulisan harus berdasarkan sumber yang bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian ide atau gagasan itu dikembangkan dengan kemampuan dan wawasan yang dimiliki. Pengembangan ide bisa dengan berbagai pola sebagaimana dalam pengembangan paragraf. Ini sangat sesuai dengan materi pembelajaran Bahasa Indonesia. Kebetulan saya adalah guru Bahasa Indonesia.

Serba kebetulan atau memang jalannya demikian, saya tidak tahu. Yang saya tahu, sekarang saya berusaha menampung saran dan kritik sahabat saya itu untuk kemudian bisa saya eksekusi menjadi tulisan yang sedikit tidak picisan. Banyak hal yang bisa saya persiapkan. Di antaranya adalah membaca. Seorang penulis juga harus seorang pembaca. Karena itu pertanyaan yang sangat menohok yang pernah dia lontarkan adalah “Buku apa yang sudah kamu baca hari ini?” Sementara jumlah buku saya sangat terbatas. Betapa malunya saya. Pertanyaan itu menjadi sebuah lecutan semangat buat saya.

Ini sangat sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Pak Eko Prasetyo dalam tulisan beliau yang berjudul “Berani Menjadi Penulis, Siap Disiplin”. Ketika itu Pak Eko Prasetyo termotivasi oleh Pak Dahlan Iskan. Siapa yang tidak tahu Bapak yang bersahaja dan cerdas ini. Sosok yang kemudian banyak melahirkan karya yang bernas dan berhasil mencetak banyak pesohor negeri ini menjadi tokoh ternama. Kunci keberhasilan beliau ternyata adalah membaca. Beliau adalah pelahap bacaan apa saja. Dari mulai yang ringan sampai yang paling berat. Meskipun demikian hal ini tidak mengubah kesahajaannya.

Maka tak heran jika Pak Eko Prasetyo terinspirasi oleh beliau. Kita, para gurusianer, siapa yang tak kenal Pak Eko Prasetyo. Cerdas dalam segala situasi. Saat serius beliau benar-benar menunjukkan kepiawaiannya, saat bercanda, beliau pun menunjukkan kelasnya. Tidak sekadar gurauan tapi ada ilmu dalam setiap gurauannya. Audiens diajak berpikir dalam bahan candaannya. Ada tujuan yang dikemas dengan apik, semacam satire atau sindiran, ada litotes, bahkan paradoks. Pembaca tulisan beliau dibuat terpaku pada bacaan sehingga terus-menerus mencari. Seolah haus dengan tulisan beliau, belum merasa cukup jika belum membaca tulisan beliau.

Sungguh! Ini bukan perkara yang mudah. Meramu dan menyajikan sebuah tulisan bertema sederhana dengan bahasa yang bisa menembus segala labirin pembaca. Jika kita bertekad mau belajar, segala sesuatu tidak ada yang tidak mungkin. Kuncinya adalah disiplin. Disiplin waktu, disiplin membaca, disiplin menulis. Keberadaan seorang motivator pun tak kalah pentingnya. Dari sanalah akan tumbuh semangat.

Semoga saya dan kita semua bisa mendapatkan ilmu dari orang-orang hebat itu walaupun setetes. Setetes kata kita, dari yang setetes itu semoga bisa menjadi segelas, semangkuk, bahkan sekendi. Semoga.#🌷